Budaya Seni Sastra dan Hiburan
Beranda » Berita » Pena Wartawan, Membuat Orang Tersenyum & Menangis

Pena Wartawan, Membuat Orang Tersenyum & Menangis

Ilustrasi / Pena Wartawan serta 3 tokoh melayu (Hendra, Subaidah dan Sulaiman/Cerpen). Dok/net

“Bukit Sungai Langit Saksi Bisu Keserakahan

Pilihan pekerjaan (Profesi) sebagai Wartawan (Jurnalistik), sungguh muliya bila dikerjakan sungguh-sungguh, landasan jujur, untuk melahirkan kebenaran, namun tak sedikit Wartawan tergelincir dalam menjalankan tugasnya, karena menerima suap untuk meredam berita, dan menyembunyikan Kejahatan, kata Hendra, sang Penulis Cerita Kidung Perahu Tiris?
Tak heran dari karya Jurnalistik yang jujur, kata Hendra berseloroh pada sahabatnya Sulaiman penulis terkenal dengan Cerpen Sembilu Bergetar di balik Bukit Sungai Langit, “Pena Wartawan ada saatnya membuat orang tersenyum dan sebalik Menangis” Karena kebenaran terungkap dibalik goresan Pena Wartawan.
Pena Wartawan “bisa membuat orang tersenyum dan menangis” soal menangis dan tersenyum bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan kita, apa yang ditaburkan, itu pula yang dituai jelas Hendra pada Sulaiman.  
Sulaiman, hanya mengangguk kecil dengan senyumnya yang semengeringah, sambil menahan nafas, dari atas Bukit Sungai Langit.  
Jika banyak orang tersenyum karena beritamu, jangan kau berlaku sombong dan angkuh.
Karena dibalik senyum itu terkadang tersembunyi suatu kejahatan yang merugikan masyarakat luas.

Dan sebaliknya, Hendra mengingatkan sahabatnya Sulaiman, bila ada orang menangis karena beritamu, jangan berfikir negative dulu, mungkin ada hak-haknya yang belum kamu tulis dan disajikan, untuk rasa keadilan, papar Hendra.
Bagi yang tersenyum dan menangis karena beritamu, pertanda ada kebaikan yang di sampaikan dan terungkapnya kejahatan yang di terbongkar, itu kerja keras Pena Wartawan dengan kejujurannya mengungkapkan fakta.
Membuat orang “Ternyum dan Menangis” Bukit Sungai Langit, sepuluh tahun belakangan ini jabedi saksi bisu,  terungkapnya “kebenaran dan kejahatan” papar Hendra, pada sahabatnya Slaiman, seraya meneguk Kopi pahitnya, ditengah naik harga Gula dipasaran umum.
Sulaiman, terkekeh dengan tawa khasnya, bergaung hahaha…aaaa.Sulaiman,  berkomentar, jangan lagi mengingat masa lampau, siapapun raja yang berkuasa (saat) itu ?
Cukup ada ingatan dihati rakyat, “yang dzolim, cukup tercatat dzolim, kita maafkan ke dzolimannya sebagai manusia biasa?” Sulaiman, enjoy mengisap rokok dan Kopi pahit dibalik pondok reatnya di Bukit Sungai Langit itu. Sulaiman, mengingatkan Hendra, sahabatnya seorang journalist yang kreatiave itu, Sulaiman, mengatakan mari kita dorong dan ingatkan siapapun rajo yang beristana di Bukit Sungai Langit dibelakang desa Koto Kapeh, Kerinci itu kita ingatkan bersama, “jadilah raja yang adil, tegas, arif dan bijaksana” yang tahu hak dan kewajibannya.
Tidak hanya batas berkuasa, memperkaya diri, keluarga, kita ingatkan tuan raja, mengutamakan kepentingan rakyat yang lebih besar, karena mereka pembayar pajak terhadap daerah yang dikuasai sang raja, tutur Sulaiman.  
Ditengah naiknya sinar mentari pagi, di Bukit Sungai Langit, angin berembus semilir tenang, seolah membawa harapan, tiba-tiba muncul sesosok wanita sahabat lama dari Hendra,
Ia dipanggil Subaidah seorang tenaga ahli bidang pendidikan anak.
Assalmualaikum Bang Hendra, lagi apa Tanyanya,..?
Hendra terkejut ada apa kesini, hari ini tanggal merah kegiatan sekolah lagi kosong, saya menghantarkan sebungkus (ibat Nasi) sambal Daun Surian (Daun Suhin) dan bersisi gorengan belut kesukaan bang Hendra, Alhamdulillah.

Tapi sayang hanya satu bungkus saya tidak  tahu, jika ada bang Sulaiman, disini.
Tidak apa kata Hendra, satu bungkus lebih dari cukup, kami berdua akan berbagi makan bersama soal rezeki papar Hendra, bukan besar kecilnya dalam jumlah, tapi ke ikhlasan pemberi dan penerima, adalah bentuk sadaqqah yang pantas di kembangkan, bersedaqqah tidak harus menunggu jadi orang kaya, pejabat, dan raja.
Hendra dan Sulaiman, makan bersama di depan Subaidah, sambil bergurau Hendra berkelakar,…selain Sambal Belut dengan Daun Surian memang mengundang selera makan, tapi lebih dari, ingatan terhadap siapa pemberinya, ketus Hendra.
Subaidah tersenyum kecil, dengan Lesung Pipitnya yang mungil menggambarkan sisa masa gadisnya sebagai ratu desa, masih terukir dimata banyak lelaki?.
Boleh bang aku bertanya, ada apa yang dibahas dihari yang cerah ini, kalau boleh tahu ?
Hendra, menjawab, di Bukit Sungai Langit, di sebelah sana sama kita tahu itu istana sang Raja, banyak dikunjungi para tokoh penting di negeri ini baik yang datang dari dalam dan luar daerah ini.

Kita juga dengar ketika Raja berkuasa “bak gula manis” sasaran para Semut, logikanya seperti itu. Selagi ada manisnya semut-semut merah tetap menyerbu mau menghisap manisnya.
Bagi seorang Jurnalis Bukit Sungai Langit ini salah satu sumber berita actual, banyak cerita yang menarik untuk di ekspose, bagaimana pihak kerajaan membangun perekonomian untuk kesejahteraan rakyat?.
Kalau begitu bang Tanya Subaidah, aku titip pesan jangan lupakan dunia pendidikan sebagai asset potensial kedepannya untuk bersaing sehat dan professional, dengan kecerdasannya, ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak.
Iya,…terima kasih bang aku pamit dulu kata Subaidah, takut tiba-tiba hari hujan pakaian  terjemur banyak harus di angkat dulu. Sulaiman, menimpa oh iya terima kasih Subaidah.
Subaidah, dengan langkah gontainya meninggalkan Pondok reot, tempat diskusi Hendra dengan banyak Wartawan dan penulis muda, serta diskusi dengan cendikiawan, tokoh adat, agama, semuanya banyak membahas seputar pembangunan dan merosotnya perekonomian rakyat yang harus dibenahi?
Sulaiman, lalu bertanya apa yang harus kita lakukan? 
Kita dorong pemerintahan Raja yang berkuasa saat ini, untuk membenahi luka lama, pada pemerintahan sebelumnya, “kita harus berani, katakan yang benar itu, tetap benar sekalipun sakit dan banyak pejabat yang tidak suka?. Itu hal biasa, kita harus maju.
Tapi, dalam perjuangan, “kita harus benar dulu sebelum mencari kebenaran itu” sebagai Wartawan, bila prinsip itu kita terapkan, dengan landasan kejujuran, unuk memperoleh kebenaran dan terciptanya rasa adil ditengah masyarakat. Itu lebih dari cukup, papar Hendra.
Kalau mau kaya, iya jangan jadi Wartawan, “jadilah bisnismen, pejabat bermental Korup, yang mengkhianati sumpahnya sendiri.
Maka saya menyebutnya tegas Hendra, “Pena Wartawan ada saatnya bisa membuat orang tersenyum, dan menangis, semua itu ada sebab dan akibat.
Dan tergantung baik buruknya yang kita lakukan.
Mengutif sebuah catatan, “siapa menabur angin akan menuai badai” 
Kalaulah yang kita tanam Padi, insya allah Padi yang tumbuh, bila sampai Kunyit yang di tanam Putih Isinya. Padi di tanam Ilalang tumbuh, berarti ada yang salah dalam sistem pemerintahan, papar Hendra, yang dicatat cermat sahabatnya Sulaiman,penulis Buku Kidung Perahu teris itu.
Saya akan menulis buku, berjudul “Kebenaran Itu Harga Mati” ikuti kisahnya dalam Cerita Pendek (Cerpen) pada edisi yang akan dating ? ( ***** ).
Cerita pendek ini, jika terdapat nama dan tempat yang sama itu kebetulan belaks. Tidak bermaksud menohok seseorang, apa lagi menjastis (menghukum) semata hanya mengingatkan semata. Kisah ini di angkat dari kisah nyata, kedalam fisik, mengisi kekosongan menjelang tidur.
BACA JUGA :  Roda pedati
× Advertisement
× Advertisement