Budaya Seni Sastra dan Hiburan
Beranda » Berita » Bahagia Dalam Lumpur

Bahagia Dalam Lumpur

Ilustrasi Pejabat berdasi gembira ria ditempat hiburan malam dengan minuman keras. Dok Net

Cerita Pendek (Cerpen)  

Kata bahagia, semua orang (kita) mengimpikan dan merasakanya,“ya bagia. tapi kenapa aku kata Hendra belum merasa hidup tenang dan bahagia yang ku cari berpuluh-puluh tahun belum kurasakan arti bahagia.

Gafar Uyub Depati Intan

Kata Hendra, pada sahabatnya Subaidah seorang ilmuan bidang pendidikan “aku bahagia, kata Hendra sambil tertawa lebar pada sahabatnya Subaidah, bak dalam lumpur. Maksud abang, tidak merasa tenang, dan tidak terasa bahagia.
Apa maksud bang Hendra, “bahagia dalam lumpur”
”Apa arti hakiki, bahagia dan tenang, berpuluh-puluh tahun kucari belum kurasakan, arti bahagia itu, gumam Hendra ?. Apakah aku saja yang merasa tidak bahagia, aku bertanya pada banyak orang pejabat penting, orang kaya, pengusaha, politisi, dan pemain music terkenal, aku semakin bingung keluh Hendra.
Orang kaya dan orang hebat dan terkenal juga merasa belum bahagia dan tidak tahu arti dan rasa bahagia.  
Bahagia ternyata sulit difahami arti makna sesungguhnya apa itu bahagia? Aku sering merasa tergelincir dan di tinggalkan kata dan rasa bahagia.
Aku merasa hidup bahagia masih dalam lumpur, “berjalan terkadang amat  terasa berat, berfikirdan bekerja terkadang membingungkan, hampir sepanjang hidup ke usia 70 tahun rasa bahagia sejati aku belum tahu,”
Padahal aku telah diberi rezeki, nikmat dari tuhanku yang maha agung.
Apakah aku mungkin orang yang tak pandai bersyukur sehingga aku bak berjalan dalam lumpur, semua terasa amat berat dalam hidupku.
Ah,…mungkin itu elusi semata, dan khayalan berlebihan. Aku ingin tahu apa iu bahagia, apa lagi merasakannya.
Sampai saat ini, aku tak berhenti mencari bahagia, itu apa? Aku belum merasa hidup tenang dan bahagia, aku terus memburu rasa bahagia itu.
Dimana dan kapan bisa kurasakan?
Tuhanku, yang maha Agung telah memberi aku rezeki yang cukup, sehat, memang tidak berlebihan seperti orang-orang di sekitar, apa lagi satu kota, “punya rumah mewah, mobil, dan punya rekening gendut, ketika kuyanya, apakah mereka sudah bahagia, ternyata lebih banyak yang hidupnya gelisah. Mereka mengaku belum bahagia ?
 Aku hanya punya rumah tempat berteduh, punya rezeki bisa makan tiga kali sehari, aku sudah lebih dari gelandangan, sudah lebih dari hamba tuhan yang sangat miskin dan yatim piatu yang miskin, bila kulihat kebawah, samping kiri kanan, aku bersyukur, namun arti sesungguhnya dari bahagia dan hidup belum kurasakan seperti apa ?
Bagiku rumah yang sangat sederhana dan makan tiga kali sehar dari allah sudah lebih dari cukup.
Allah maha agung, maha menentukan dengan kehendaknya, dari rachmat yang diberikan itu, sebagai hamba allah aku ingin mencari arti dan rasa hidup bahagia, seperti apa ?
Kegelisahan diriku yang begitu panjang, aku coba kembali ke belakang, bertanya….dan bertanya pada paraguku, para Ustadz, Para Kiyyau (ahli Agama Islam), beragam jawaban yang kuerima. Ada yang menjelaskan :
  1. Bahagia dan tenang itu, orang yang pandai bersyukur pada tuhannya Allah, pemberi dan pengatur rezeki pada hambanya.
  2. Bahagia itu, orang sanggup ber-syukur ketika ada dan tidaknya rezeki, karena setiap rezeki yang diberi bukan di hitung besar kecilnya jumlahnya. Melainkan, mampu bersyukur secara ikhlas.
  3. Bahagia itu, orang yang pandai bersyukur pada tuhannya Allah dan selalu mengingat kebesaran dan ke-agungannya.
  1. Bahagia itu, selain dengan ikhlas bersyuku kepada Allah, dan mengingat ke Agungannya dengan mendekatkan diri padanya dalam Shalat, bersujud (bersimpuh) dihadapannya, tidak memikirkan dunia secara berlebihan.
Karena yang berhak mengatur dunia  hanya dia allah yang maha ada, bukan siapa-siapa selain dia zat yang maha hidup dan dzat yang mengatur segalanya.
Hendra mengaku masih bingung, Itu Allah belum bisa ku lihat, tapi bisa kurasakan, seperti angin Ia ada tapi tak bisa di lihat. Karena bukan Suffi, bukan apa-apa, hanya batas manusia biasa.
Dari banyak pendapat itu, Hendra mengakui dengan jujur belum mampu memahaminya secara benar. Berarti aku kata Hendra, manusia Dzolim selama ini, “tahuku makan enak, angkuh dan sombong saat diberi rezeki oleh Allah, aku belum merasa hidup tenang, walaupun hidup sudah lebih dari para pakir / yatim piatu miskin. Aku lupa diri,…ini kuceritakan pada Subaidah sahabat setiaku dalam diskusi, Subaidah lalu tersenyum kecil dibalik selung pipitnya yang mempesona.
Seraya mengatakan “hai bang Hendra, kita belum terlambat, allah itu maha pengasih, maha penyayang, maha pemberi ampunan, penerima Taubat bagi hambanya yang tidak mengulangi perbuatannya yang mengandung dosa.
Mulai detik ini, menjelang detik-detik sampainya waktu Isyaa, silakan berwudhuk mencuci ragamu dari hadas besar dan kecil, Shalatlah menghadap Kiblat dan bersujud pada (memahun) ampunannya, Hendra melakukannya.
Ya, dinda Subaidah, jawab Hendra. Ingatkan dosa-dosa pada masa lalu, hamper tiada malam yang engkau jalani berjoget ria dengan para artis, dari vick club atau Club malam, Caffe semua kelas, kau berdendang ria dan melupakan tuhan mu. Hendra, terhenyak haru diraut mukanya tanpa wajah penyesalan, ia mengingat masa lalunya yang kelam.
Iya, dinda Subaidah. Terima kasih, terima kasih aku kau ingatkan. Palingkan wajahmu, dan minta ampunan atas apapun kejahatan yang engkau lakukan, masa lalu dan jangan mengulanginya.
Dan buang jauh, penyakit sakit hati, sak dan wasangka terhadap siapapun, yang mungkin pernah engkau sakiti, mintalah maaf walau mereka menolakmu.
Air mata Hendra, lelaki pemberani, dimasa mudanya, berkelahi fisik dan non fisik, kadang bnyak merugikan orang lain, diluar Ia membela kebenaran, karena “nafsu dan akal” sering mengalahkan hati dan jiwa, disadari atau tidak oleh Hendra?.
Hendra meninggalkan Subaidah, ia berkelana mencari ketengan hati dan jiwa, ia masih memburu arti dan bahagia sejati.
Hendra dalam perjalanan yang menahun, dari desa, kabupaten dan kota mencari mursyid (guru) belajar dan teruys belajar, bersujus pada Allah, dengan melakukan Shalat, dan meninggalkan tindakan “sak dan wasangka, egoisme, terhadap siapapun yang dikenalnya dan atau terkenal karena kebesaran namanya.
Hendra, belajar menundukan kepalanya dan terus belajar dan mencintai tuhannya Allah SWT, dalam 24 jam, sepanjang detak jantungnya masih bernafas, Ia berdzikir mengenal Allah (Tuhan yang Maha Esa), dalam dzikirnya, dan memhon ampunannya. Dan sejak itu Hendra, secara pelan-pelan (bertahap), mulai merasa tenang dan tidak terlalu gelisah, seperti sebelumnya.
Baik dalam keadaan ada rezekinya secara nyata, maupun tidak ada dan tidak terlihat, Hendra, mengaku merasa tenang dan bahagia.
Hendra, mengaku sangat sulit menghapus kotornya penyakit hati, bak Sak dan Wasangka, egoisme, Sombong, angkuh dan tidak mau mengakui kebenaran, maunya menang sendiri. Sifat orang seperti ini, Sahabat kentalnya Iblus, Syaitan.
Maka langkah dari hari kehari, berusaha keras untuk meruntuk, sujud, dan memogon ampunan dari Allah. Untuk membersihkan hati, dengki, jiwa kotor, dan mengedepan kasih sayang, dengan cara berfikir dengan akal sehat, pandai bersyukur, ringan tangan bersedekah,tanpa harus menuggu kaya.
Dan jangan untuk mendapat pujian, di akhir pengakuannya Hendra bero,d “ya allah ampunilah hambamu yang dzolim ini, atas kejahatan yang telah kulakukan, apapun balasan dari mu yaallah akan kuterima apa adanya.
Hukumlah aku Ya allah, untuk menebus kesalahanku di dunia persinggahan dan fana ini, sebelum nafasku berakhir. (*****).
Penulis hamba Allah yang lemah, dan Dzolim, engkau yang meng-anugerahi pekerjaan sebagai Wartawan, (1988– s/d Oktober 2025), sebuah perjalanan panjang yang aku syukuri, dalam Suka dan Suka, Alhamdulillahirrabal alamin..

 

BACA JUGA :  Bendera Merah Putih yang Lusuh
× Advertisement
× Advertisement