

Oleh : Mashuri (AWI)
Suasana politik di Kabupaten Lebong memanas. Gerakan masyarakat yang tergabung dalam PAMAL (Perjuangan Rakyat Lebong) telah hampir dua bulan menyuarakan aspirasi mereka. Namun, alih-alih mendapat ruang dialog, yang muncul justru kesan bahwa Bupati Lebong, Azhari, membangun benteng pertahanan dengan merasa paling benar dan anti-kritik. Gaya kepemimpinan seperti ini bukan hanya kontra-produktif, tetapi berpotensi memantik konflik berkepanjangan yang dapat mengoyak kerukunan di daerah ini.
Substansi Tuntutan vs. Respons Personal
Yang patut disayangkan adalah pergeseran fokus dari substansi ke personal. Tuntutan PAMAL sejatinya sangat substantif dan merupakan jantung dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang telah dijamin oleh sejumlah peraturan perundang-undangan:
1. Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) : Masyarakat berhak mengetahui detail pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah. Transparansi adalah obat terbaik untuk mencegah praktek korupsi dan salah urus.
2. Penataan Aset Daerah dan Pengembalian TGR (Tunggakan Ganti Rugi) : Ini adalah persoalan klasik sangat sulit ditagih dan dibayar penunggak baik OPD,DPRD,MANTAN KEPALA DAERAH,DAN PIHAK KETIGA.
3. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) : Netralitas ASN, terutama para ASN yang terpapar PILKADA 2024 harus transpran penerapan sangsinya dan dalam menghadapi Pilkades serentak yang sempat dijanjikan, adalah prinsip dasar untuk menjaga demokrasi yang sehat dan berintegritas.
4. Evaluasi Program 100 Hari Kerja dan Pelayanan Publik : Sebuah tuntutan yang wajar sebagai bentuk akuntabilitas pemimpin atas janji kampanyenya.
Alih-alih menjawab tuntutan yang sah ini dengan data dan argumen kebijakan, respons yang muncul justru terkesan emosional dan defensif. Tuduhan bahwa aksi masyarakat “melebihi wewenang penegak hukum” atau “menyerang pribadi” terasa sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kritik. Padahal, penyampaian pendapat di muka umum adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh UU No. 9 Tahun 1998 dan tidak boleh dilanggar.
Kepemimpinan yang “Baper” dan Dampaknya
Beberapa sikap Bupati Azhari dalam beberapa kesempatan justru memperkeruh situasi:
- “Baper” (Bawa Perasaan) : Seorang pemimpin daerah dituntut untuk memiliki ketahanan mental dan kedewasaan politik. Curhat di forum yang tidak semestinya dan mengancam mutasi pejabat yang dianggap tidak loyal adalah tanda kepemimpinan yang rapuh. Pemimpin yang kuat justru akan menyambut kritik sebagai umpan balik untuk perbaikan.
- Membahas Urusan Privasi dalam Urusan Publik : Ini adalah kesalahan strategis fatal. Ketika isu pemerintahan dijawab dengan membela diri dan keluarga secara personal, pesan substansinya menjadi kabur. Publik tidak peduli dengan urusan pribadi; mereka peduli pada pelayanan publik, pembangunan, dan keadilan.
- Potensi Konflik Horizontal: Dengan menyudutkan kritik sebagai serangan pribadi atau kelompok tertentu, gaya kepemimpinan ini berbahaya karena dapat memecah belah masyarakat dan memicu konflik horizontal. Masyarakat yang seharusnya bersatu membangun daerah, justru diarahkan untuk saling mencurigai.
Jalan Keluar : Egaliter, Terbuka, dan Berpijak pada UU
Bupati Azhari perlu segera melakukan introspeksi mendalam. Sudah saatnya mengubah paradigma dari defensif dan resistan menjadi egaliter dan terbuka. Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah:
1. Membuka Ruang Dialog Substantif : Undang perwakilan PAMAL dan elemen masyarakat lain untuk duduk bersama membahas satu per satu tuntutan dengan data dan argumentasi yang jelas.
2. Memenuhi Hak Informasi Publik : Secara proaktif membuka akses informasi mengenai pembangunan, keuangan daerah, dan penataan aset kepada publik.
3. Berfokus pada Pekerjaan : Alihkan energi untuk membicarakan kemajuan Lebong, mengevaluasi program, dan memperbaiki pelayanan publik. Tunjukkan kesibukan dengan kerja nyata, bukan dengan merespons kritik secara emosional.
Pemerintahan yang legitimate dibangun dari kepercayaan publik. Kepercayaan itu tidak didapat dengan merasa paling benar, melainkan dengan akuntabilitas, transparansi, dan kerendahan hati untuk mendengar. Jika gaya kepemimpinan saat ini terus dipertahankan, bukan tidak mungkin Lebong akan menghadapi stagnasi pembangunan yang dibayangi konflik sosial-politik yang tidak perlu. Momentum untuk berubah ada di tangan Bupati Azhari
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49].
” La haula wala quwwata illa billah” (لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ) “ (***)
Artikel ini sebelumnya pernah dipublis www.dipatriot.com



